#CDBA : GADIS JENDELA

Pada saat aku menulis ini, aku sedang menyesap yogurt drink sambil kembali memikirkan kejadian kemarin. Entah mengapa, dari sekian banyak cerita yang terjadi saat naik angkot (di sini--Makassar--kami menyebutnya pete-pete) dan yang ingin ku ceritakan, hanya cerita ini yang berhasil masuk ke dalam badan Entry Blogku terlebih dahulu dan berhasil ku publish hingga kalian bisa membacanya sekarang.

Oke mari kita mulai.

---
Ilustrasi (oleh: Zarah Arwieny Hanami)

[Oktober, 2017. 08:00 WITA]

Pagi itu langit mendung dan hawa cukup dingin, cukup membuatku masuk angin seandainya tadi aku tidak sarapan. Angkot tua dengan musik pop bervolume tinggi segera berhenti begitu melihatku, pak sopir membunyikan klaksonnya dengan riang, seolah mengundangku naik ke angkot kesayangannya. Tanpa jual mahal, aku menurut. Bukan karena klaksonnya ya, tapi karena memang aku harus naik angkot jurusan itu.

Aku gak sendiri di dalam angkot, ada seorang kakek duduk di samping pak sopir dan seorang gadis yang sudah duduk di posisi kursi kesayanganku--dekat pintu, samping jendela--dengan pose duduk 15 ribunya* yang membuatku merengut dan memilih duduk di seberangnya. Saat duduk, entah mengapa aku merasa suasana angkot berubah menjadi lebih mendung dari cuaca hari ini. Seolah-seolah ada aura abu-abu yang sedang terpancar, entah dari mana. Belum lagi, saat pak supir sudah menginjak gas, ia mengganti musiknya dengan lagu pop melankolis, ituloh yang liriknya pada galau semua. Duh duh..

Di kondisi seperti ini biasanya aku acuh saja, aku bakal sibuk membaca novel, tenggelam dalam aksi-aksi imaginatif di otakku sambil sesekali mendongak kalau aku sudah membaca lebih dari 20 halaman. Takutnya tempat pemberhentianku sudah lewat. Tapi sialnya, hari ini aku juga lupa bawa novelku. Huahhh. Haruskah aku karokean saja di angkot ini?

Jawabannya, aku gak karokean. Aku sih hafal liriknya, tapi ada yang lebih menarik perhatianku. Iya. Gadis diseberangku itu. Ia mungkin seusia denganku. Sama-sama berjilbab, sama-sama berkacamata (tapi dia lebih tebal), sama-sama menyandang tas ransel. Dari segi gaya, fashionnya masuk dalam kategori wajar dan lumayan versiku. Hanya saja jika dibandingkan denganku, dia sangat rapuh.

Entah kenapa saat memperhatikannya aku sudah tahu dimana aura abu-abu itu berasal. Dia lebih mendung dari langit mendung. Kalau langit sekarang awannya masih enggan untuk mengeluarkan hujan, Gadis itu adalah tipe langit yang awannya sudah capek menanggung beban air dan hujan sudah turun di gadis itu meskipun masih rintik-rintik. Ya dia lagi menangis. Meskipun tatapannya selalu berada di luar jendela, tapi dari balik kacamatanya aku bisa melihat air mata yang menggenang dan bekas air mata yang mengalir di pipinya bak membuat jalur sendiri pada lapisan bedaknya. Aku penasaran, bukan karena aku ingin tahu urusan orang, tapi lebih untuk menyempurnakan analisisku meskipun ada rasa sedikit simpati dan ragu-ragu. Dengan samar, aku mengubah posisi dudukku menjadi lebih ke depan. Agar bisa memperhatikan dengan saksama.

Dari caranya menatap keluar jendela, aku gak yakin dia ingin melihat pemandangan. Tatapannya kosong, seolah sedang mengarah ketempat lain. Berarti ia sedang banyak pikiran, tengah dirundung masalah. Untuk gadis seusia kami, masalah apa yang dipikirkan saja bisa menangis tanpa memikirkan di mana dan kapan? Apakah cinta? Aits.. dia kuno banget. Lalu aku melihat bibirnya bergetar, ia menelan ludahnya, mengatupkan bibirnya sambil mengadahkan kepalanya beberapa derajat. Menahan air matanya jatuh lagi. Oh Tuhan. Aku bingung. Seandainya saja aku punya tissue. Ah.. tapi aku yakin kalau dia tidak mau ada orang tahu dirinya tengah menangis. Apalagi setelah angkot berhenti untuk menaikkan penumpang, aku melihatnya melepas kacamata, melirik kanan kiri samar-samar dan ia berakting sedang mengalami sakit mata sambil cepat-cepat mengelap matanya yang basah dengan ujung lengan kaosnya. Setelah itu ia kembali menatap keluar jendela. Hmm.. dia lumayan juga.

Sepanjang perjalanan mungkin dia telah melakukan aksi sakit mata dan ngelapnya kurang lebih 10 kali. Dia benar-benar rapuh dan sedih. Seandainya sang pelaku penyebab kesedihannya melihat gadis ini sekarang, yang bahkan di angkot dia nangis, meskipun ada bapak sialan yang menghembuskan asap rokoknya seenaknya saja--yang mungkin Ia bisa protes atau nutup hidung--sang pelaku mungkin akan menyesal. Tapi toh aku juga gak tahu masalahnya apaan, tapi kayaknya dia sedang dilema berat. Tangannya gak bisa diem juga dari tadi. Kadang mencet-mencet layar hape terus dikunci, mencet lagi, dikunci lagi. Kayak lagi bingung antara Ya atau Tidak. Pergi atau Tinggal. Kanan atau Kiri. Dsb.
Eh ngomong-ngomong masalah Ya atau Tidak, kadang ini bikin kesel ya. Biasanya kalau ada pertanyaan yang butuh jawaban Ya atau Tidak, atau dua pilihan lah, ada aja gitu orang yang nyelipin 'Terserah'. Terserahnya gak jelas lagi menjurus kemana. Ini nih yang disebut main aman. Jadi kalau keputusan yang diambil salah, dia gak bisa disalahin karena jawabannya Terserah. Hmm bisa jadi gadis teman se-angkotku ini juga korban terserah. Meskipun aku belum bisa berkesimpulan seperti itu.

"Kiri.." katanya dengan nada bergetar. Khas orang yang sudah menangis.

Angkot berhenti. Aku memperhatikannya turun lalu menyerahkan lembaran uang lima ribu versi terbaru ke pak supir. Tak ada senyum di wajahnya. Kalau saja aku gak memahami dia sedang sedih, mungkin saja saat melihat wajahnya aku bisa berspekulasi bahwa gadis itu adalah gadis terjutek sepanjang masa. Aku masih menatapnya, Ia berjalan lalu bertemu dengan seseorang yang sepertinya sudah menunggunya sedari tadi. Angkot perlahan berjalan namun pandanganku tak lepas dari gadis itu, gadis yang satunya, yang menunggunya tadi menepuk bahunya dan mereka mengobrol. Siapa sangka, gadis jendela yang tadi kewalahan menahan air matanya walaupun tumpah juga, tertawa lepas dihadapan kawannya. Seolah-olah dia tidak pernah dirundung masalah. Seolah-olah apa yang tadi kulihat selama perjalanan di angkot hanya cuplikan drama di TV, tidak nyata.

Aku mencubiti diriku. Lalu mengarahkan pandanganku darinya, kali ini aku menatap ke tempat yang ia duduki tadi. Jendela yang tadi Ia gunakan untuk menutupi kesedihannya masih terlihat muram. Aura mendung juga masih terasa. Aku terhenyak lalu memandang titik kecil si Gadis dari jendela belakang.

Hey Gadis jendela, semoga masalahmu cepat selesai. Apapun itu. Mungkin engkau tengah diujung tanduk untuk melepaskan mimpimu, mungkin kamu sedang bertengkar dengan kekasihmu/kawanmu/orangtuamu, mungkin kamu tertekan karena ulahmu. Apapun itu, kudoakan semoga masalahmu bisa cepat-cepat menguap terpanggang waktu. Agar tawamu bisa lebih lepas, dari tawamu yang sekarang. Ah.. ada lagi. Teman memang bisa membuatmu berhenti memikirkan masalah. Meskipun sejenak.

Aku baru saja tersenyum, setelah mendoakan si Gadis, ketika bapak perokok di sampingku menyulut rokoknya yang baru dan menyembulkan asap rokok yang mengandung ribuan zat berbahaya didukung angin yang mengarah ke arahku.

"EDEDEEEE BAUNYA KODONGG*!"

Hari yang mendung! Bendung (in english)!
---

*duduk 15 ribu: duduk yang terlihat seolah-olah menguasai seluruh kursi. Kursi di dekat pintu angkot muat 3 orang, jadi 3 x 5000 = 15.000. 
*Edede baunya kodong = Aaah, bau kasian

You Might Also Like

6 comments