ANAK KOST! Part 2

Selamat Pagi!

Dan selamat siang, malam, subuh, sore, senja atau apapun sesuai dengan keadaan kalian disana. Yang jelas, aku menulis blog ini pada pagi hari. Ya! Sunday Morning! Hari yang sejuk, cerah dan pastinya penuh semangat. Mengantarkanku pada mood yang baik untuk menulis entry blog baru untuk kalian para blog-readers khususnya yang menyempatkan untuk membuka halaman postingan ini demi sekedar mendapat informasi seputar pengalamanku.

Ya, ya, ya. Hari ini Zarah bakal sharing tentang kelanjutan kisahku sebagai anak Kost yang tidak sepenuhnya menderita, melainkan dipenuhi kebahagiaan yang merasuki setiap sendi-sendi dan sumsum tulang yang menyusun rangka tubuhku. Baiklah, kita berhenti menjadi hiperbola dan mulai menyimak kisahku. Kuharap kalian terinspirasi atau hanya terhibur dengan postingan ini, yang jelas.. Happy Reading!

Sore hari, akhir Februari 2014 (yah, sekitar itu lah karena aku tidak punya buku diary)


Langit kelabu menatap muram pada kami, para penimba ilmu yang masih tertawa hangat saat menapaki jalanan panjang menuju gerbang kampus. Paras-paras kelelahan dan perut yang berteriak minta diisi merupakan situasi yang biasa terjadi setelah memeras otak begitu lama dan berpikir seharian untuk menambah pengetahuan. Rintik-rintik hujan mulai turun, aku dan teman sepenanggunganku memberhentikan mesin beroda dua yang dikendarai oleh teman kami.

“Boleh ikut? Cukup mengantarkan kami ke Ibu saja.” Kata kami kepada masing-masing pengendara motor yang diberhentikan.

Mereka mengangguk dan kami melesat ke rumah Ibu. Biar kuceritakan, Ibu adalah nama panggilan kami kepada seorang wanita tua yang menjajakan makanan di teras rumahnya—sebut saja menjajakannya di warungnya. Langganan kami, para mahasiswa dengan duit pas-pasan yang kangen dengan masakan rumah. Teman yang mengantarkan kami hanya menurunkan kami sampai di Ibu, mereka menancap gas dengan terburu-buru sesudahnya karena hujan mulai turun.

Lima belas menit berlalu. Aku sudah siap menuju kotak berwarna hijau sederhana yang biasa ku sebut Villa—melainkan hanya rumah kost—dengan menjinjing kantung plastik bening berisi lauk untuk makan malam. Hujan tak urung berhenti, bahkan semakin deras. Menusuk tulang kami dengan hawa dingin yang ia bawa. 

Aku, Ria, dan dua temanku berteduh dibawah atap seng milik Ibu bersama kucing-kucing nakal yang terus membuat fobia kucingku kambuh.

“Kita harus pulang sebelum maghrib. Aku bawa payung.” Payung biru sudah bertengger diatas kepalaku. Yang lain sibuk mencari payung dan dengan kemurahan hati Ibu, kami memiliki tiga payung sekarang. 

“Kalian siap?” Kataku kepada mereka, mereka menjawab seakan tak ada pilihan lain selain menembus hujan yang deras ini. Aku dengan payungku sendiri, Ria dengan payungnya dan kedua temanku berbagi payung karena ukurannya cukup besar. Mereka membuka sepatu dan aku setelah membaca situasi akhirnya membuka alas kakiku itu, aku nyeker.

Awalnya medan yang kami lalui tidak begitu berarti, jalanan yang tergenang air serta batu-batu yang berada di jalan mulai merasuki sarafku dan membuatku bereaksi kesakitan, tetapi harus ditahan agar aku bisa pulang tepat waktu sebelum maghrib. Aku melindungi tasku dengan cukup baik meskipun basah disana-sini dan kakiku yang tidak terbiasa dengan refleksi kaki membuatku semakin tidak tahan. Hujan tak kunjung berhenti dan jalanan mulai sepi. Sesekali pengendara motor lewat dan melihat kami tanpa mendongak maupun menawarkan tumpangan—masa bodoh, aku juga tidak mau diangkut oleh orang sembarangan. Jalanan yang kami harus tapaki juga lumayan panjang jadi lengkap sudah penderitaan kami seperti berjalan dikali berbatu. 

Aku berhenti menyuarakan ketidak kuasaanku untuk melanjutkan perjalanan meskipun tinggal setengah jalan lagi. Aku berhenti bersama Ria di salah satu tempat fotocopy. Bangunan itu sepi seperti tidak ada tanda-tanda bahwa bangunan itu berpenghuni. Meja dan kursi diletakkan serampangan serta kertas-kertas dibiarkan begitu saja pada kedai teh. “Permisi,” Aku mencoba bersuara meskipun terengah-engah. Tak ada jawaban. Akhirnya tanpa izin kamu duduk di kursi sambil memandangi hujan yang turun dengan semakin deras. Aku meneliti kakiku yang malang. Telapaknya berwarna kemerahan, dan aku yakin banyak bebatuan kecil yang masuk dan menusuk.

Kami duduk lima menit disana. Sekedar untuk menenangkan diri, meski hati juga berdoa agar Tuhan menenangkan hujan. Well, tidak terjadi apa-apa. Hujan tetap turun dan kami tidak dihadapkan pada pilihan apapun mengingat disini tidak ada penghuninya. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan setelah mengupdate status di twitter. Gaul harus tetap jalan! Haha. Jalanan yang licin dengan batu-batu yang menusuk serta air yang tergenang dan mengalir  tetap menjadi medan kami. Pakaianku basah pada bagian belakangnya dan kakiku seperti tertusuk jarum saat mencoba melangkah. Ria juga merasakannya tapi berteriak-teriak menyemangatiku seperti aku sedang mengikuti sebuah pertandingan. Dan akhirnya kami sampai setelah berteriak-teriak di detik terakhir karena merasakan ada sesuatu yang menggeliat dibalik genangan air dan mengelus-ngelus kulit kami. What a long hard journey! Aku tidak menyangka menjadi anak kost akan sesulit ini.

Awal Maret, 2014

Salah satu kendala anak kost seperti kami adalah kami tidak memiliki kendaraan, sehingga saat malam tiba itu tandanya kami terkurung dalam kotak ini. Well, hari ini kami tidak kemana-mana dan air gallon sudah habis. Tenggorokan kami kering dan tahu tempe untuk lauk sudah menjerit-jerit minta dimakan. Alhasil, kami mengadu pada ibu kost. Untungnya, dengan kemurahan hati beliau, Ia bersedia membelikan kami gallon tapi kami harus menunggu selama tiga puluh menit. Tiga puluh menit? Bukan waktu yang pendek. Kost-an kami sudah seperti berada di gurun pasir dan kami adalah para musafir yang dehidrasi. And Finally, kami mengetuk pintu rumah tetangga dan meminta air minum menggunakan tekonya. Sungguh tidak modal! But, seru juga merasakan kesusahan. Betapa murah hatinya tetangga kami ini.

Akhir Maret, 2014

Akhir maret seru juga. Hujan selalu menjadi penghalang meskipun aku bersyukur, karena hujan bisa membuatku hemat listrik dengan tidak menjalankan kipas angin. Hehe. Malam itu aku membuat kesalahan dengan tidak membeli makanan pada sore hari sehingga aku menahan lapar dan menunggu reda hujan hingga jam Sembilan malam. Karena sudah tidak tahan dengan perut yang meronta-ronta ditambah omelan Mama kalau aku sampai tidak makan, akhirnya aku memutuskan untuk menerobos hujan lagi bersama Ria, kali ini diteman tetangga kami yang berjenis kelamin laki-laki sehingga kami merasa memiliki pengawal haha. Wajar saja kalau aku meminta pengawal, karena jalanan yang akan kulalui tidak memiliki lampu jalan alias gelap total! Kami hanya bermodalkan cahaya remang-remang untuk berjalan. Barulah setelah berjalan beberapa meter cahaya sudah banyak menyinari jalan. Maklumi ya, kampus kami ini baru dan terletak di perkampungan. Pembangunan baru dimulai disini.



Ada lagi kejadian berkesan akhir maret! Aku, Ria (entahlah tapi kami memang selalu bersama), Carla dan sebut saja “Kirby Guy” pergi ke Mall untuk menonton film yang selama ini aku tunggu-tunggu, Yap. DIVERGENT! Anak kost yang tengah mencari hiburan ini langsung saja menembus keramaian lalu lintas yang dipenuhi sesak massa orang-orang yang berkampanye demi untuk mengejar waktu putar film itu. Aku sangat menikmati film ini karena aku adalah pecinta novelnya! Apalagi di layar lebar itu ada Theo James dengan kekekaran tubuhnya berakting memerankan Four dengan kerennya. Astaga! I’m falling in love with fictional character again! Sebenarnya ada satu tujuan terselubung kami sih, tepatnya aku dan Ria ingin menyatukan Carla dan Kirby Guy itu. But, unfortunately mereka sama saja , seorang Abnegation yang kaku -______-“.

Dan setelah itu aku kembali ke rumah!

Baru-baru saja terjadi, 2014.

Aku tidak ingin menceritakan ini terlalu banyak karena aku seperti orang bodoh saat itu. Yang jelas, kami offroad di dalam kompleks! dan planning untuk ber-hometheather bersama Ria dan Carla harus dikubur dalam-dalam karena Serangan Malam (bukan serangan fajar seperti di dunia perpolitikan) yaitu tugas mendadak yang harus dikumpul keesokan harinya. Well, kita berubah menjadi zombie!



----


Ku rasa, ceritaku cukup seperti itu saja. Aku meminta maaf karena ceritanya cukup panjang. Dan aku sangat berharap kalian akan memberikan respon entah itu dalam bentuk pujian, bangga, ataupun cacian. Yang jelas aku bakal sangat mengapresiasi siapapun yang meluangkan waktunya untuk membaca postingan aneh ini dan menuliskan sepatah kata pada kolom komentar. See You!

You Might Also Like

7 comments

  1. Hai, nice post :)
    Ijin blogwalking yaa, ada info lomba blog loh, mau ikutan gak?
    Klik aja ini!
    Makasih.

    ReplyDelete
  2. katanya ga punya buku diary ? bukannya ini juga buku diary nya ?

    koment balik ya ?
    http://musikanegri.blogspot.com/2014/04/gunongan-bukti-cinta-sultan-kharismatik.html

    ReplyDelete
  3. jadi teringat sama kuliah dulu, semangat! kamu akan merindukan saat-saat itu :)

    ReplyDelete
  4. Hi, salam kenal ya fellas. Aku Rosiy dari Surabaya.
    Jangan lupa berkunjung balik ya: http://gebrokenruit.blogspot.com/2014/05/bersama-speedy-instan-semua-bisa-online.html
    Thank you;)

    ReplyDelete