Masa Lalu

Namanya Hans. Ya, Hans. Kemarin Ia menepuk pundakku lalu memelukku hangat. Seperti dua sahabat yang baru bertemu kembali. Cuih. Aku benci mengatakan ini, tapi dia memang sahabatku. Setidaknya itu berlaku 13 tahun yang lalu. Tapi, sekarang aku bahkan tak ingin melihatnya lagi apalagi menyambutnya sebagai sahabat. Cukup!

Jadi kau masih penasaran? Oke akan ku ceritakan. Tapi jangan heran kalau kau jadi targetku selanjutnya.
13 tahun yang lalu. Tepatnya saat aku berusia 13 tahun. Aku berdiri di pinggir jalan mengamati keramaian kota metropolitan yang menyesakkan. Polusi asap kendaraan bermotor membuat pengguna jalan harus menutup saluran pernapasan mereka, bunyi klakson yang harus di dengar perdetik akibat kemacetan pun menjadi sebuah kebisingan, pejalan kaki harus pintar-pintar menyebrangi jalan agar tidak menjadi korban tabrak lari dan para pencari nafkah dipinggir jalan harus sigap saat lampu merah mulai menyala. Aku salah satu dari mereka.

Seperti biasa hari ini aku harus mencari nafkah bersama Hans dan segelintir anak panti lain kemudian menyetornya pada ibu panti. Ya, aku tahu kalian heran. Sebuah panti asuhan hendaknya tidak melakukan hal ini, tapi tidak bagi sebuah panti yang berada dipinggiran kota. Panti asuhanku.

Aku besar dipanti itu. Sebuah panti dengan bangunan tua yang bisa rubuh kapan saja. Sebuah panti yang berada dipinggiran kota dengan temperatur tinggi. Menurutku, mungkin matahari hanya berada di panti ini. Tidak ada pohon, tidak ada permainan, tidak ada canda tawa yang menonjol. Suara cekikikan anak panti hanya terdengar samar seperti bisikan. Yang dapat kau dengar disini adalah suara mengeluh dan sumpah serapah Ny. Pitsbout serta suara cacing-cacing rakus yang kurus dalam perut anak-anak panti. Panti pembuangan.

Setiap hari yang aku kerjakan adalah mencari nafkah dan mendapat omelan memuakkan dari Ny. Pitsbout. Masih terbekas tampakku saat masih dipanti itu. Seorang anak kecil kurus, hitam, dekil dan pucat pasi.
Hans, dia adalah satu-satunya orang yang kuajak berbicara atau yang bisa kuajak berbicara. Dia 3 tahun lebih tua dariku. Kami sahabat. Ya, sebenarnya itu kata orang dan sebelum aku mengerti apa arti sahabat yang sesungguhnya. Dia tidak pernah jadi sahabatku. Berani taruhan?

Dia memang selalu ada disaat duka maupun suka. Coret kata yang terakhir. Tapi, pada kenyataannya aku bahkan tidak pernah diperlakukan baik dengannya. Dia mengajariku sesuatu yang salah. Apa yang dia katakan selalu menusuk, meskipun dia selalu bersikap manis. Two-faced. Aku baru menyadarinya setelah hari itu berlalu. Setelah aku punya otak.

Hari apa? Sabar. Akan ku beritahu.

Hari dimana aku keluar dari dunia yang sungguh-sungguh membuat kepribadianku terkekang. Hari itu hujan, aku masih ingat ketika Hans dan kawan-kawan meninggalkanku ditengah hujan deras saat kami hendak dikejar anjing. Aku terkikik waktu itu. Ku kira mereka ingin bermain petak umpet atau semacam permainan yang anak normal biasa lakukan. Tapi pada kenyataannya tidak. Mereka benar-benar meninggalkanku.
Aku bahkan tak tahu waktu itu aku dimana. Aku memang anak bodoh idiot yang kehilangan gerombolannya. Jadi, aku memilih untuk singgah disebuah pos yang berisi anak muda dengan belati disakunya. Hingga akhirnya mereka mengadopsiku.

180 derajat. Hidupku berubah. Mereka lebih berperasaan dari yang kukira. Mereka lebih mengertiku dari Hans. Mereka memberitahukanku banyak macam hal mengenai dunia ini. Bahwa semua orang pada akhirnya akan mati dan orang yang tak berguna tidak dibutuhkan di dunia ini.
Mereka juga melatihku, hingga aku bergabung dengan komunitas mereka. Komunitas yang baru kusadari cocok dengan apa yang kuinginkan selama ini. Dulu aku bahkan tak tahu apa yang kusuka.

Aku suka melempar pisau dan menembak.

Tapi, ada satu syarat yang tidak boleh ku langgar. Aku tidak boleh mengingat bahkan menceritakan masa laluku. Siapa yang tahu harus dihindari atau dilenyapkan. Aku juga harus mengganti identitasku meskipun aku tidak yakin akan ada orang yang mengingatku. Tapi memang ada. Hans.

"Akhirnya aku menemukanmu! Apa kabarmu, sobat?"

"Menurutmu?"

"Huh, kau jadi lebih sensitif dan agak gemuk. Haha. Apa yang kau kerjakan sekarang?"

"Mengawasi."

"Jadi, kau masuk dikelompok mata-mata, ya?"

"Entahlah."

"Kau masih ingat aku kan? Aku Hans! Kita dulu berada pada sebuah panti yang sama--"

"Hentikan."

"Kenapa jadi dingin begini? Dulu kau bahkan selalu tersenyum kalau aku menjahilimu! Dulu kau--"

"Ku bilang hentikan! Atau-"

"Atau apa? Kau mau memukulku? Go ahead! Sekarang aku seorang polisi. Kau tidak boleh macam-macam denganku."

"Sejenis membuatmu berhenti mengoceh.." Aku menodongkan pistolku kepadanya.

"Memangnya kenapa kalau kita bernostalgia? Ada apa denganmu Bush? Hey darimana kau dapat pistol itu?"

"Aku bukan Bush."

DOR! Aku menarik pelatuk pistol dan 1 detik kemudian Hans sudah terjelembab ke tanah. Aku berjongkok membisikkan sesuatu di telinganya.

"Danish. Itu namaku."

Dan pertemuanku berakhir seperti itu dengan sahabatku. Kau bisa melihatku tersenyum kan? Oiya satu hal yang harus kau tahu. Aku ini pembunuh bayaran. Tidak ada satu pun orang yang boleh tahu masa lalu ku.

Aduh. Aku hampir lupa! Kau sudah tahu masa laluku, ya? Kalau begitu, sampai bertemu secepatnya! ^_^

You Might Also Like

6 comments

  1. Keren cerpennya.
    Eh jadi takut nih haha ._.

    ReplyDelete
  2. Aaaahhh keren bngt ceritanya!!!

    ReplyDelete
  3. Hwuaaa kereen, cara bertutur ceritanya keren, nice post!

    oiya, bisa visit kumpulan cerpen2 kami di Kotak Imajinasi, ditunggu kritik dan sarannya ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih kak. Kotak imajinasi? aku minta linknya yaa :)

      Delete