#1 NOVEL NYALA SEMESTA (A REVIEW) : Sebuah Literasi yang Menyalakan

Sebuah paket tiba dengan selamat di depan rumahku. Rapih, tanpa menunjukkan adanya lecet sedikitpun. Aku menyambutnya dengan antusias. Bukan apanya, sebuah buku yang sudah kuidamkan-idamkan sejak awal terbit, akhirnya berhasil juga kudapatkan. Secara gratis, Allah yang kasih, lewat perantara Tetehku--Teh Fina thank you, Jazaakillahu khoir!

----

Buku itu adalah novel Nyala Semesta, karya Farah Qoonita, atau yang akrab disapa Teh Qoonit. Beliau seorang aktivis dakwah yang sangat gencar menyuarakan akan kemerdekaan rakyat Palestina, yang mungkin sebagian besar orang kadang lupa, bahwa di belahan bumi sana, ada saudara-saudara kita yang tengah berjuang mempertahankan tanah suci Palestina, tempat salah satu masjid yang diberkahi berada--Al Aqsha.



Novel ini tentunya menggambarkan realitas dan konflik yang terjadi di tanah Palestina, yang dikemas secara menarik dalam balutan Novel Action-Thriller, yang selanjutnya kusebut sebagai cara unik dan efektif dalam berdakwah dan menyisipkan pesan kemanusiaan. Bukan tanpa alasan, novel fakta fiksi (sebagian besar berasal dari fakta namun dihadirkan dalam bentuk fiksi) dengan tebal bersih 274 halaman ini, lebih dari sekedar novel dengan kisah menarik lalu tamat. Lebih dari itu, melalui novel ini kita diajak untuk berpikir dan merasa, kemudian insya Allah--bergerak. 

Mengangkat cerita tentang perjuangan rakyat Palestina, khususnya sebuah keluarga--Keluarga Khalid Hamad--di Gaza, Palestina, novel ini dengan apik mengemas cerita masing-masing anggota keluarga beserta perjuangan yang mereka lalui. Novel ini menurutku berhasil membuat pembacanya menaiki roller coaster emosi, di mana yang mendominasi adalah sedih, geram, semangat, dan adem (Adem tuh emosi gak ya? Adem di sini maksudnya bisa membuat kita tenang karena kutipan-kutipan menyentuhnya). Bahkan dari cerita satu keluarga di Gaza ini saja pelajaran yang diperoleh bak sedang panen, banyak dan melimpah. Bagaimana kalo tetangganya juga diceritakan detail ya? Hmm.. Masya Allah.

Dimulai dari menitik beratkan pada kisah Mushab, si anak pertama, membuat hati sudah terkoyak-koyak dahulu. Dalam kisahnya yang mengoyak hati ini dan membuat perasaan campur aduk, terselip begitu banyak edukasi akan taktik busuk orang-orang kafir dalam menipu daya orang-orang muslim. Salah satu hal yang aku garis bawahi di kisah Mushab ini adalah Ghazwul Fikr. Dengan cara elegan dan perlahan-lahan, otak kita bisa disusupi dengan mudah akan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan islam. Melunturkan satu persatu tarbiyah yang sudah dipupuk bertahun-tahun. Seperti yang sudah kusebut diawal, novel ini merupakan fakta fiksi, dan karakter traitor Mushab ini benar-benar ada di dunia nyata (Search code: Son of Hamas, The Green Prince). Agak geram ya hyung..

Tapi, Allah tidak pernah tidur. Mushab boleh saja pergi meninggalkan keluarga, bangsa, dan agamanya, tapi, harus diingat bahwa sesungguhnya bukan kita yang dibutuhkan tapi kita yang membutuhkan berjuang di jalan Allah. Ketika kita berpaling, kita dengan mudah dapat digantikan dengan sosok baru--yang dalam novel ini, pada akhirnya Hanah akan melahirkan anak kelima mereka, si bayi Ghazi pasca kehilangan Mushab. Ghazi yang bahkan dari saat masih diikhtiarkanpun pun sudah didoakan menjadi Hero of  the future Palestine.

Lalu ada Yusuf dan Hassan Hamad, yang juga menjadi titik sentral dari kisah ini. Dua bersaudara yang hampir selalu bersama, mereka memang memiliki teamwork yang luar biasa. Ideal seorang saudara, harus kompak, saling membantu, saling mendukung dan berjuang bersama di jalan Allah. Meski begitu, masing-masing memiliki perannya. Yusuf jago dalam mengemudi dan bagian dari tim penyelamat, serta Hassan memiliki passion dalam bidang jurnalistik. Aku sangat suka dua karakter ini, mulai dari semangatnya, bagaimana mereka selalu berhusnuzon kepada Rabbnya, dan yang iconic ialah mengucapkan Hasbunallah wa ni'mal wakil (cukuplah Allah sebagai Pelindung) di tengah keadaan genting sekalipun.

Kemudian yang menjadi favoritku adalah sosok Hanah. Sosok wanita dan ibu peradaban. Teh Qoonit menceritakan Hanah sebagai muslimah tangguh yang cerdas dan cekatan. Ia berjuang melalui rahimnya, melahirkan dan mendidik para pejuang masa depan Palestina. Dialah yang tetap 'menyalakan' semangat di dalam rumahnya, menjadi penggerak anak-anaknya dalam menyusun strategi perjuangan Palestina. Melihat Hanah ini, aku tidak ragu akan tumbuhnya Maryam--si satu-satunya anak perempuan keluarga Hamad--menjadi gadis yang tangguh pula.

Dan tentunya karakter Khalid. Sebagai kepala keluarga dan petinggi Hamas, tentunya beliau memiliki fisik dan ruhiyah yang bukan kaleng-kaleng. Ia begitu gigih meskipun diterpa siksaan berhari-hari. Mengingatkan kita akan kisah-kisah terdahulu, bagaimana memperjuangkan islam dan iman sulit bukan main, harus menghadapi siksaan dari para kaum kafir. Begitupun yang terjadi dengan Khalid, namun yang membuat takjub adalah begitu kuatnya ia menghadapi cobaan dari Allah. Tentunya hal ini bukan hal yang mudah dilalui seorang manusia yang fitrahnya lemah. Tapi, karena cintanya kepada Allah dan agamanya lah yang membuatnya tak bergeming menghadapi kaum zionis. Pelajaran berharga dari kisah Khalid adalah; Jangan pernah melupakan Allah, atau power of dzikr.

Novel ini sarat hikmah, bukan hanya dari tokoh-tokoh utamanya, tapi karakter pendukungnya pun berhasil mndatangkan decak kagum, membuat lidah otomatis melafadzkan 'Masya Allah', dan memang begitulah realitas masyarakat di Palestina sana. Mereka masih bisa teguh meskipun dihujam serangan dan diliputi kekurangan. Membuat kita harus banyak-banyak bersyukur akan nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Mungkin hari ini kita masih bisa makan enak, di saat saudara-saudara kita di Gaza bahkan sesering itu berpuasa dan menahan lapar. Mungkin hari ini kita bisa tidur nyenyak, sesekali ditemani suara hujan deras yang seperti meninabobokan kita lebih dalam, sedangkan saudara-saudara kita harus siaga setiap saat, karena hujan serangan Israel bisa datang kapan saja. Memborbardir rumah-rumah warga yang boro-boro tidur nyenyak, tapi panik bukan main.

Teh Qoonit dengan cerdas dapat mendeskripsikan situasi di Gaza seolah-olah kita berada di tenga-tengah mereka. Aku kadang tertegun sendiri, meresapi kalimat demi kalimat. Bertanya-tanya sampai kadang ingin menitikkan air mata, bagaimana para penduduknya bisa sangat sabar? Betapa kuatnya jiwa-jiwa di sana, bukankah Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya? Apabila mereka harus menanggung itu semuanya, tandanya Allah tahu, seberapa kuat dan mampunya rakyat Palestina. Lalu, bagaimana dengan kita? Tugas remeh temeh saja kadang masih mengeluh. Astaghfirullah.

"Di Gaza, kemewahan tertinggi memang terletak pada manusia itu sendiri. Manusia-manusia pemilik ruhiyah yang membara. Jiwa-jiwa yang merindukan Surga. Bagaimana tidak, ruh-ruh ini saling menguatkan satu sama lain." [hal. 139]

 


Ada beberapa paragraf yang aku highlight dalam novel ini, dan dengan senang hati ingin aku share ke kalian semua. Yang pertama adalah teori ketapel yang diutarakan oleh karakter Syeikh Musa, Ustadz dari Hamad bersaudara:

Ada dua gaya yang bekerja dalam ketapel ini. Gaya sentripetal dan sentrifugal. Gaya sentripetal itu ibarat nafsu manusia. Ia selalu bergerak mendekati pusat ketapel. Kecenderungannya selalu pada dunia, tak mau ke mana-mana. Sedang gaya sentrifugal itu ruhnya. Ia yang membuat tubuh kita bergerak menjauhi kehidupan dunia. Selalu ingin melesat, ingin berdampak, ingin menghantam, ingin mengalahkan keburukan.... Semakin panjang tali ketapel, semakin besar kontribusimu, potensi daya lesatnya akan semakin tinggi. Batu disini ibarat ilmu, daya pikir, kemampuan yang kita miliki. Semakin berat massanya, semakin kuat ia mampu menjatuhkan lawan.... Panjangkanlah tali kalian dengan kesungguhan, perberatlah batu kalian dengan ilmu, kencangkan daya lesatnya dengan ruhiyah. [hal. 61-62]

Selain itu banyak pula kutipan-kutipan tentang menuntut ilmu yang merupakan favoritku.

"Tak semua orang Allah izinkan punya pendidikan tinggi, bukti keberhasilannya bukanlah medali wisuda atau gelar mastermu, tapi amalmu. Bentuk syukurnya tak bisa hanya sekedar ucap, tapi kebermanfaatan dirimu. Ini baru awal Mushab, jangan pernah merasa puas. Ingat, kesudahan buah yang matang adalah busuk." -- Khalid [hal. 113]

"Ambisius itu salah satu bukti hati yang hidup. Hati yang penuh keimanan akan menuntut tuannya bekerja keras untuk menciptakan karya-karya hebat." -- Amjad [hal. 222]

"Kita dekat dengan buku, Lauhul Mafuz yang menyimpan semua ilmu pengetahuan adalah buku, Al-Quran adalah buku, hingga di akhir nanti, catatan amal kita akan diberikan dalam bentuk buku. Jadi kalian harus mencintai buku, mencintai ilmu." -- Khalid [hal. 163]

Novel ini sepertinya adalah novel pertama yang kubaca mulai dari halaman judul, kata pengantarnya yang ternyata juga mengandung pesan-pesan inspirasi dan motivasi, hingga halaman referensi. Beliau berharap bukunya ini dapat menjadi solusi walaupun hanya menjadi kerikil, yang penting menjadi bagian dari sana. Seakan mengingatkan bahwa, apapun itu, kita harus selalu jelas akan sikap kita, apakah kita memihak ke Palestina atau ke zionis israel. Jangan apatis atau memilih diam, karena pilihannya hanya ada dua.

Terakhir novel ini--yang tentunya tidak sesederhana yang kujelaskan di sini--memang betul-betul menyalakan semesta, yang salah satunya dapat menyalakan para pembacanya. Sejujurnya, aku juga masih jauh dari analogi 'kerikil' tadi, mungkin lebih tidak terlihat lagi, atau bahkan baru sekedar niat. Namun, belum ada kata terlambat untuk memulai kisah sendiri, ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi dalam perjuangan Palestina. Seperti yang sudah dirangkum pula dalam buku, ada 3 hal sederhana; Pray, Donate, and Share. 

Mohon maaf jika kalian merasa I spill too much spoilers, tapi percayalah ini hanya sebagian kecil karena masih banyak hikmah dan ilmu yang bisa kalian peroleh dari membaca utuh novelnya. Dunia harus tahu akan novel Nyala Semesta ini! Semoga Allah selalu menguatkan pundak-pundak para pejuang di Palestina dan senantiasa memberikan kita hidayah agar tidak pernah lupa kalau seorang muslim dan lainnya itu ibarat satu tubuh, jika satu sakit, yang lain pun turut merasakan.

Wallahu a'lam bi as-shawab.

You Might Also Like

0 comments